seni bangunan indonesia yang menjadi dasar dalam pembuatan candi adalah
Relief Contoh Relief. 1. Candi. Candi Prambanan. Candi adalah sebuah bangunan tempat ibadah dari peninggalan masa lampau yang berasal dari agama Hindu-Buddha. Candi digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewa. Dalam agama Hindu, kata candi berasal dari kata "candika " yaitu salah satu nama dari dewi Durga (dewi maut).
02Agustus 2022, 18.13. Seni Rupa adalah ilmu yang mempelajari tentang keindahan, yakni secara teori dan prakteknya. Beberapa hal yang akan teman-teman pelajari pada program studi Seni Rupa diantaranya melukis, mematung, menggrafis, membuat keramik hingga penerapan ilmu-ilmu seni, seperti sejarah dan perkembangan Seni Rupa sekarang ini.
Bahandasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-Buddha), sedangkan yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya
pemula candi plaosan dalam perspektif sketsa is jogja, gambar perspektif rumah kumpulan gambar rumah, gambar bangunan sederhana beriokto blogspot com, proses perancangan pada bangunan inkremental dalam, frank o gehry himaartra, paul rudolph theory of contemporary architecture, desain eksterior 2 titik lenyap
Senibangunan indonesia yang menjadi dasar pembuatan candi adalah - 965296. yeuh yeuh 05.10.2014 Sejarah Sekolah Menengah Atas terjawab Seni bangunan indonesia yang menjadi dasar pembuatan candi adalah c.sarkofagus d.nekara e.punden berundak2 2 Lihat jawaban Iklan Iklan Nella99 bagaimana pembukuan al Qur'an pada masa sekarang
Meine Stadt De Partnersuche Kostenlos. ArticlePDF Available AbstractPeninggalan candi sering kali ditemukan dalam keadaan rusak. Namun di balik sisa-sisa reruntuhannya, masih terlihat jejak proses pembangunannya. Pada awalnya, seseorang yang menjadi pelaksana pembangunan candi Yajamana, bersama para pekerjanya Silpin, harus menghubungi Maha Brahma. Kemudian berdasarkan arahan Maha Brahma, mereka akan mencari lokasi yang tepat untuk membangun candi. Lokasi yang paling digemari adalah lahan dekat aliran sungai, khususnya daerah pertemuan dua sungai tempuran. Material yang digunakan untuk pembanguan candi banyak macamnya, namun yang paling sering ditemukan adalah batu andesit dan batu bata merah. Material batu bata merah biasanya dipergunakan pada candi di areal persawahan, sedangkan batu andesit biasanya pada candi di dekat sungai. Tulisan ini mendiskusikan perbedaan penggunaan material pembangun candi tersebut serta efeknya pada kekuatan dan keindahan bangunan candi. Studi ini menggunakan metode kualitatif. Pengambilan data dilakukan melalui studi literatur, baik terhadap buku, laporan, ataupun artikel serta film semi dokumenter tentang ekskavasi candi di beberapa tempat di Indonesia. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa penggunaan material candi di Indonesia, baik batu andesit maupun batu bata merah, sama-sama menghasilkan kekuatan dan keindahan dengan ciri khas masing-masing. Keduanya dapat digunakan secara terpisah maupun bersamaan, walaupun berbeda fungsi, tergantung lokasi candi. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Human Narratives September 2020, pp. 33-38 e-ISSN 2746-1130 33 PILIHAN MATERIAL BANGUNAN PADA CANDI Bambang Perkasa Alam Program Studi Arsitektur, Universitas Indraprasta PGRI Abstrak. Bangunan candi sering kali ditemukan dalam keadaan rusak. Namun di balik sisa reruntuhan bangunan tersebut, masih terlihat jejak proses pembangunannya. Material yang digunakan untuk membangun candi, yang paling sering dijumpai adalah batu andesit dan batu bata merah. Material batu bata merah biasanya dipergunakan pada candi yang ditemukan di areal persawahan dan jauh dari gunung berapi, sedangkan yang menggunakan batu andesit biasanya di dekat sungai, tidak jauh dari gunung berapi. Artikel ini mendiskusikan perbedaan penggunaan material pembangun candi tersebut serta faktor yang memengaruhinya. Studi ini menggunakan metode kualitatif. Pengambilan data dilakukan melalui studi kepustakaan, di mana sumber informasi utamanya adalah buku, laporan, artikel ilmiah, serta film semi dokumenter tentang ekskavasi candi di beberapa tempat di Indonesia. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa pilihan material pembangun candi tidak terkait secara langsung dengan periode pembangunannya, melainkan dengan ketersediaan bahan yang dipengaruhi oleh lokasi pembangunan, serta terkait dengan tingkat kesakralan bangunan yang hendak didirikan. Kata kunci batu andesit, batu bata, candi, material Abstract. Temple buildings were often found in a state of disrepair. However, behind the ruins of the building, there were still traces of the construction process. The materials used to build temples, which were most often encountered were andesite and red bricks. Red brick material was usually used in temples found in rice fields and far from volcanoes, while those that used andesite stones were usually near rivers, not far from volcanoes. This article discusses the differences in the use of the temple building materials and the factors that influence them. This study used qualitative methods. Data were collected through literature studies, where the main sources of information were books, reports, scientific articles, and semi-documentary films about the excavation of temples in several places in Indonesia. The results of the discussion showed that the choice of temple building materials was not directly related to the construction period, but with the availability of materials which is influenced by the construction location, as well as the sacred level of the building to be erected. Keywords andesite stone, red bricks, temple, material Correspondence author Bambang Perkasa Alam, Jakarta, Indonesia Material Bangunan pada Candi This work is licensed under a CC-BY-NC PENDAHULUAN Indonesia memiliki banyak candi yang tersebar di hampir seluruh Pulau Jawa dan Bali, serta sebagian Sumatera dan Kalimantan Soekmono, 1995. Secara umum, pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia, masyarakat menggunakan candi sebagai tempat pemujaan dewa dan dewi Soekmono, 1973 81. Akan tetapi, terdapat perbedaan fungsi candi pada agama Hindu dan Budha. Bagi agama Hindu, candi lebih merupakan penanda kekuasaan, sedangkan agama Budha menempatkan candi sebagai tempat peribadatan. Selain tempat ibadah, beberapa bangunan yang tidak dilengkapi simbol-simbol keagamaan juga tetap dinamakan candi, termasuk bangunan-bangunan yang dipergunakan sebagai pintu gapura, tempat pemandian, istana, penanda kekuasaan, ataupun sebagai makam para raja. Arsitektur bangunan candi dirancang dengan sentuhan seni yang tinggi. Kualitas estetis ornamen ukiran maupun seni pahat yang terdapat pada candi mengisyaratkan bahwa pada eranya, kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha memiliki arsitek-arsitek dengan keahlian yang mumpuni. Keberadaan relief yang biasa menghiasi bangunan candi juga menunjukkan bahwa pada masa itu keindahan seni telah mendapat perhatian dan menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat, khususnya di lingkungan kerajaan. Padanan untuk istilah candi dalam bahasa Inggris, temple,’ berasal dari bahasa Latin templum,’ yakni bangunan yang dikhususkan untuk ritual, kegiatan spiritual dan/atau keagamaan, seperti kegiatan doa dan pengorbanan Soekmono, 1973. Jika dikembalikan kepada pengertian dasarnya dalam bahasa Indonesia, maka istilah candi dapat mencakup pula semua bangunan bersejarah Hindu–Budha yang terdapat di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia Dumarcay. Candi memiliki rupa dan fungsi yang sangat beragam, dan dianggap sebagai tempat bersemayamnya satu atau beberapa dewa. Secara historis, keberadaan candi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah dan perkembangan agama Hindu–Budha di Jawa sejak abad ke-7 sampai abad ke-14, serta di daerah Sumatera dan Kalimantan Supriatna, 2006. Bukan hanya rupa dan fungsinya, material pembuat candi pun bermacam-macam, antara lain batu granit, batu bata, dan batu kapur. Keragaman material inilah yang menjadi pokok diskusi dalam artikel ini. Apakah yang menjadi penyebab keragaman pemilihan material tersebut? Apa pula alasan penggunaan suatu material pada candi-candi tertentu? METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik kajian kepustakaan. Sumber data yang digunakan antara lain artikel jurnal ilmiah, majalah, buku, maupun artikel-artikel dari sumber daring di internet. Selain itu, data yang dibutuhkan juga diambil dari sumber berupa film tentang penggalian arkeologis di situs candi. Bambang Perkasa Alam © 2020 This work is licensed under a CC-BY-NC HASIL DAN PEMBAHASAN Candi dan Material Pembangunnya Bangunan candi sering kali dihubungkan dengan monumen sebagai tempat pendharmaan untuk memuliakan raja yang telah wafat. Namun demikian, candi bukanlah makam, melainkan bangunan kuil Soekmono, 1973 241. Selain merujuk pada bangunan tempat ibadah agama Hindu-Budha, kata candi juga dipergunakan untuk menyebut bangunan istana, pemandian/petirtaan, gapura, dan sebagainya Maryanto, 2007 8. Menurut Yudoseputro 1993 118, bangunan candi digunakan sebagai bangunan suci, namun di India sendiri, bangunan candi tidak digunakan sebagai tempat ibadah. Di India, bangunan kuil untuk menyelenggarakan upacara agama Hindu disebut vimanna rumah dewa atau ratha kendaraan dewa, sedangkan untuk ibadah agama Budha disebut stupa. Sebutan candi di Indonesia merujuk pada bangunan dengan bermacam-macam fungsi, yaitu kuil Hindu, stupa dan wihara Budha, pemandian, pintu gerbang gapura, ataupun candi sebagai bale kambang, pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu jenazah raja, tempat pemujaan atau bersemayam dewa. Walaupun fungsinya bermacam-macam Dumarcay candi diartikan juga sebagai replika rumah tinggal para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru Supriatna, 2006. Mengingat fungsinya yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan keagamaan Hindu dan Buddha pada masa lalu, sejarah pembangunan candi juga tak dapat dilepaskan dari sejarah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-14. Bangunan candi banyak mendapat pengaruh dari India, misalnya dalam aspek teknik bangunan, gaya arsitektur, dan ornamen atau hiasan. Walaupun demikian, arsitektur candi di Indonesia mempunyai karakter tersendiri, baik dalam penggunaan bahan, teknik konstruksi, maupun corak dekorasinya. Hal ini karena pengaruh kebudayaan dan kondisi alam setempat juga sangat kuat. Dinding candi biasanya dihiasi relief tentang ajaran atau cerita tertentu. Aturan pembuatan bangunan gapura atau candi yang dipegang teguh oleh para seniman bangunan di India dimuat dalam sejumlah kitab keagamaan, antara lain Manasara dan Sipa Prakasa. Para seniman candi pada masa itu percaya bahwa ketentuan-ketentuan di dalam kitab-kitab keagamaan tersebut bersifat suci dan magis. Bangunan yang dibuat secara benar dan indah mempunyai arti tersendiri, baik bagi pembuatnya maupun penguasa yang memerintahkan pembangunannya, dan akan mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Oleh karena itu, ketika akan membuat gapura, persiapan dan perencanaan yang matang harus dilakukan, baik secara keagamaan maupun teknis. Salah satu bagian penting dalam perencanaan teknis adalah membuat sketsa yang benar agar dapat dihasilkan bangunan seperti yang diharapkan. Sketsa ini harus didasarkan pada aturan dan persyaratan tertentu terkait bentuk, ukuran, maupun posisi dan tata letaknya. Jika dalam proses pendirian bangunan terjadi penyimpangan atau keluar dari ketentuan-ketentuan di dalam kitab keagamaan, maka akan berakibat pada kesengsaraan besar bagi pembuat maupun masyarakat sekitarnya. Namun demikian, meski ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan semaunya, suatu kebudayaan, termasuk seni bangunan, akan selalu dipengaruhi oleh keadaan alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Material Bangunan pada Candi This work is licensed under a CC-BY-NC Pada awal proses pembangunan candi, seseorang yang menjadi pelaksana pembangunan Yajamana, bersama para pekerjanya Silpin, harus menghubungi Maha Brahma. Selanjutnya, berdasarkan arahan Maha Brahma, mereka akan mencari lokasi yang tepat untuk membangun candi. Lokasi pembangunan candi yang paling baik adalah dekat sungai, terutama pertemuan dua aliran sungai yang disebut sebagai tempuran. Pada umumnya, candi terbuat dari batu hitam yang disebut batu candi, yang sebenarnya adalah batu andesit. Andesit adalah suatu jenis batuan beku vulkanik ekstrusif. Batuan jenis ini sering dipergunakan pada bangunan-bangunan megalitik, candi dan piramida. Batuan ini terbentuk dari magma dengan temperatur antara 900– Celcius. Mineral-mineral yang terkandung di dalamnya bersifat mikroskopis, antara lain silika SiO2 sejumlah kisaran 52-63%, kuarsa sejumlah kisaran 20%, biotite, basalt, feltise, plagiocase feldspar, pyroxene clinopyroxene dan orthopyroxene, serta hornblende dengan persentase sangat kecil Hannigan. Batu andesit dapat dikatakan bernilai seni tinggi karena memiliki komposisi dan tekstur spesifik yang dapat dipahat. Batuan ini biasanya ditemukan pada lingkungan subduksi tektonik di daerah-daerah dengan aktivitas vulkanik yang tinggi, seperti di Majalengka, Cirebon, dan Tulung Agung. Motif batu andesit pada umumnya ada dua jenis, yaitu polos dan berbintik. Batu andesit polos terbentuk akibat sedimentasi, mempunyai tingkat kekerasan density sangat tinggi, dan porositas rendah, sehingga teksturnya halus sekali. Pada umumnya jenis batu ini berwarna gelap atau hitam. Oleh karena sifatnya yang keras dan porositasnya kecil, batu andesit tidak mudah kotor. Beberapa candi yang terletak di daerah Dieng maupun sekitaran Magelang seperti candi Borobudur dan Prambanan, menggunakan material batu andesit. Material lain yang juga kerap digunakan untuk membangun candi adalah batu bata, yang terbuat dari tanah liat yang dicetak, kemudian dibakar. Batu ini dapat menyerap panas dengan baik. Bata merah sudah sangat umum digunakan sebagai material bangunan di Indonesia, dari zaman dulu hingga saat ini. Tanah yang digunakan untuk pembuatan bata bukanlah sembarang tanah. Tanah tersebut harus yang agak liat sehingga bisa menyatu saat proses pencetakan. Faktor yang Melatarbelakangi Pilihan Material Candi Bata yang dipakai di Indonesia adalah jenis bata bakar, yang baru hadir pada permulaan awal sejarah Nusantara bersamaan dengan masuknya budaya Hindu-Budha dari India ke Nusantara. Sebagian pendapat menyebutkan, penggunaan batu bata lebih muda daripada material batu andesit. Pendapat ini berpangkal dari kategorisasi seni bangun candi ke dalam dua langgam gaya seni, sebagaimana dikemukakan oleh Soekmono 1973 81, yakni candi berlanggam Jawa Tengahan yang dibangun pada periode antara abad ke-7 sampai abad ke-11 Masehi, dan candi berlanggam Jawa Timuran yang dibangun pada periode antara abad ke-13 sampai abar ke-16 Masehi. Di antara keduanya, terdapat langgam transisi yang dibangun antara abad ke-12 sampai abad ke-13 Masehi Soekmono, 1973 81. Pada kategorisasi ini, candi berlanggam seni Jawa Timuran dinyatakan sebagai berbahan bata. Padahal, bahan material yang digunakan, apakah bata atau batu, tidaklah terkait langsung dengan langgam seni ataupun lapis masa. Pilihan material ini lebih dipengaruhi oleh ketersediaan jenis material di lingkungan sekitar tempat pembangunan candi, dan kesakralan bangunan yang bersangkutan. Pada dasarnya, Bambang Perkasa Alam © 2020 This work is licensed under a CC-BY-NC sebagai bangunan sakral, material yang digunakan dalam pembangunan candi harus kuat dan tahan lama, seperti batu. Batu kali andesit, batu kapur, atau batu padas keras, yang dalam bahasa Jawa disebut curing, tidak selalu tersedia dalam jumlah cukup di lingkungan sekitar pembangunan. Oleh karena itu, penggunaan material lain tidak dapat dihindari, antara lain batu bata. Batu bata yang digunakan biasanya adalah bata berukuran besar dan tebal. Kualitas pembakaran yang matang akan membuat batu bata tersebut tahan usia. Bangunan candi-candi yang menggunakan material batu bata umumnya berada jauh dari areal gunung berapi. Pada candi-candi ini, material yang kemudian kerap digunakan, di samping batu bata, adalah kayu keras untuk bagian dinding dan atap. Kalaupun batu dipakai, umumnya hanya untuk bagian tertentu. Misalnya, sebagai media pahat bagi ragam hias candi, batu pengunci key stone, arca dewa, dan sebagainya. Untuk bangunan-bangunan profan, digunakan batu bata untuk komponen pondasi, gapura, pagar, dan sebagainya, sedangkan pada bagian lain digunakan bahan-bahan yang tidak tahan usia, seperti kayu, bambu, atau ilalang. Akibatnya, bagian bangunan-bangunan ini kini tidak lagi tersisa jejaknya. Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan material batu bata pada candi juga berusia tua, yakni sekitar abad ke-6 sampai ke-10 Masehi. Periode ini relatif sezaman dengan Kerajaan Tarumanegara. Dari periode ini ditemukan jejak arsitektur berlatar keagamaan Budha Mahayana yang berada di situs Batuhaya, Kabupaten Krawang, Jawa Barat. Di situs tersebut ditemukan hampir dua puluh reruntuhan bangunan batu bata, yang tersebar pada areal persawahan seluas 5 km2. Situs lain yang bisa dikatakan sezaman, yang terbuat dari batu bata adalah kompleks percandian Hindu pada situs Cibuaya di Pedes, Krawang. Selain itu, ditemukan juga reruntuhan candi dari batu bata di Kampung Sukamaju, Desa Sukajaya, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, yang dinamai Candi Binangun. Jejak bangunan candi berbahan batu bata didapati pula di sekitar candi Borobudur, yang berupa candi-candi bukur candi kecil, dari sekitar abad ke-8 Masehi. Salah satu di antaranya adalah Candi Banon Attewell & Farmer, 1976. SIMPULAN Tidak semua candi menggunakan batu andesit sebagai bahan pembangunnya. Batu bata juga digunakan sebagai material pembangun pada beberapa candi, khususnya di daerah Jawa Timur. Penggunaan Batu andesit banyak digunakan pada candi yang dibangun di daerah yang dekat dengan pegunungan, sehingga tersedia material batu andesit yang melimpah, terutama di daerah aliran sungai. Adapun batu bata banyak digunakan pada candi yang letaknya jauh dari gunung berapi. Pada daerah berdirinya candi-candi ini umumnya berlimpah material pembentuk batu bata, yaitu tanah liat. Penggunaan kedua material secara bersamaan pun bisa terjadi, yakni untuk fungsi bangunan berbeda, di mana candi menggunakan batu andesit, sedangkan bangunan penunjang menggunakan batu bata. Dari hasil pembahasan diperoleh pemahaman bahwa pilihan penggunaan material pembangun, apakah batu andesit atau batu bata, tidak berhubungan secara langsung dengan periodesasi pembangunan candi, melainkan dengan ketersediaan bahan dan kesakralan bangunan. Material Bangunan pada Candi This work is licensed under a CC-BY-NC DAFTAR PUSTAKA Attewell, P. B., & Farmer, T. W. Principles of Engineering Geology. John Wiley & Sons, Inc., 1976. Dumarçay, Jacques. Candi Sewu dan Arsitektur Bangunan Agama Budha di Jawa Tengah. Kepustakaan Populer Gramedia, 2007. Hannigan, Tim. A Brief History of Indonesia Sultans, Spices, and Tsunamis, the Incredible Story of Southeast Asia's Largest Nation. TUTTLE Publishing, 2015. Maryanto, Daniel A. Seri Fakta dan Rahasia di Balik Candi Mengenal Candi. Citra Aji Parama, 2007. Soekmono, R. The Javanese Candi, Function and Meaning. E. J. Brill, 1995. -. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Kanisius, 1973. Supriatna, Nana. Sejarah. PT Grafindo Media Pratama, 2006. Yudoseputro, Wiyoso. Pengantar Wawasan Seni Budaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993. ... Sementara itu untuk candi yang berada di daerah Jawa Tengah hampir semua menggunakan batuan Andesit sebagai bahan utama pembangunan candi dan juga ada sedikit yang menggunakan batu putih atau batu kapur. Candi pada umumnya dalam proses pembangunan tidak berhubungan dengan periode waktu ataupun ketersediaan bahan material tetapi lebih dipengaruhi lokasi pembangunan Alam, 2020. ...Jessica Aprilia PoernamaHeristama Anugerah PutraIndonesia merupakan negara yang memiliki begitu banyak warisan budaya yang terlahir dari masa prasejarah. Peninggalan secara fisik yang ada saat ini banyak berupa bangunan candi. Candi sendiri memiliki fungsi utama pada zamannya sebagai tempat persembahyangan kepada dewa ataupun sebagai istana suatu kerajaan. Candi yang ada berasal dari peradaban kelahiran dan penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara. Kedua agama ini menjadi agama tertua dan yang pertama kali masuk ke Indonesia. Candi di Indonesia sendiri paling banyak berada di Pulau Jawa tepatnya di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lokasi tempat terbangun dan berdirinya candi dikedua provinsi ini disesuaikan dengan jarak sumber untuk material utamanya. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan geografis tempat berdirinya lokasi candi-candi tersebut yang berbeda-beda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan komparatif membandingkan data yang didapat antara candi yang berada di Jawa Timur dan Jawa Tengah didasarkan letak geografisnya. Hasil yang diharapkan yaitu dapat mengetahui lebih jelas penggunaan material batuan candi yang didasarkan pada letak, jarak dan kondisi geografis dari sumber utama bahan batuannya. Umumnya jenis material utama batuan yang digunakan untuk pembangunan candi dikedua provinsi ini dikaitkan karena kedekatan dengan sumber material dan lokasi terbangunnya candi.... Sementara itu untuk candi yang berada di daerah Jawa Tengah hampir semua menggunakan batuan Andesit sebagai bahan utama pembangunan candi dan juga ada sedikit yang menggunakan batu putih atau batu kapur. Candi pada umumnya dalam proses pembangunan tidak berhubungan dengan periode waktu ataupun ketersediaan bahan material tetapi lebih dipengaruhi lokasi pembangunan Alam, 2020. ...Jessica Aprilia PoernamaHeristama Anugerah PutraIndonesia merupakan negara yang memiliki begitu banyak warisan budaya yang terlahir dari masa prasejarah. Peninggalan secara fisik yang ada saat ini banyak berupa bangunan candi. Candi sendiri memiliki fungsi utama pada zamannya sebagai tempat persembahyangan kepada dewa ataupun sebagai istana suatu kerajaan. Candi yang ada berasal dari peradaban kelahiran dan penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara. Kedua agama ini menjadi agama tertua dan yang pertama kali masuk ke Indonesia. Candi di Indonesia sendiri paling banyak berada di Pulau Jawa tepatnya di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lokasi tempat terbangun dan berdirinya candi dikedua provinsi ini disesuaikan dengan jarak sumber untuk material utamanya. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan geografis tempat berdirinya lokasi candi-candi tersebut yang berbeda-beda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan komparatif membandingkan data yang didapat antara candi yang berada di Jawa Timur dan Jawa Tengah didasarkan letak geografisnya. Hasil yang diharapkan yaitu dapat mengetahui lebih jelas penggunaan material batuan candi yang didasarkan pada letak, jarak dan kondisi geografis dari sumber utama bahan batuannya. Umumnya jenis material utama batuan yang digunakan untuk pembangunan candi dikedua provinsi ini dikaitkan karena kedekatan dengan sumber material dan lokasi terbangunnya Putu Sathya DharmaGusti Ayu Made SuartikaCandi bentar is a gate or the main door to enter a specific area, such as temple and palace in Bali. However, in the current situation, it can be found in many entries points to various premises, including a border between areas, a house, and public facilities. Puru Sada Temple, one of Kahyangan Jagat Temples located in Badung Regency of Bali Province, has a candi bentar, which at first glance similar to that of the Wringin Lawang Temple - a legacy of the Majapahit Kingdom of East Java. In terms of scale, however, the size of the Puru Sada Temple’s candi bentar is smaller. The purpose of this study is to discuss the visual characters of candi bentar in places that functioned for worship by taking Puru Sada Temple as its case study. The study used a descriptive qualitative approach. Its analysis is supported by relevant views offered by both Yudoseputro 2008 and Ching 1991. This study finds that intimacy has been a dominant visual character supported by the existence of sacred ornaments that are considered as guarding figures. Keywords visual character; candi bentar; gate; Puru Sada Temple Abstrak Candi bentar adalah gerbang atau pintu utama dalam memasuki area khusus seperti pura maupun puri di Bali. Namun saat ini candi bentar dapat ditemukan di berbagai tempat seperti perbatasan daerah, rumah tinggal, dan fasilitas umum. Pura Puru Sada termasuk dalam Pura Kahyangan Jagat berlokasi di Badung memiliki candi bentar yang sekilas mirip dengan Gapura Wringin Lawang peninggalan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Namun ukuran candi bentar Pura Puru Sada lebih kecil. Tujuan penelitian ini adalah membahas karakter visual candi bentar di tempat suci dengan mengambil Pura Puru Sada sebagai studi kasus. Penelitian ini menggunakan pedekatan kualitatif deskriptif. Dianalisa dengan teori relevan yang ditawarkan oleh Yudoseputro 2008 dan Ching 1991. Studi ini menemukan jika intimasi merupakan karakter visual dominan yang didukung dengan adanya ornamen sakral sebagai sosok penjaga. Kata kunci karakter visual; candi bentar; gapura; Pura Puru SadaHudaidahElsabelaClassical ruins in South Sumatra are often engrossed in the existence of the Srivijaya kingdom in the past. This is because the reign of Srivijaya lasted a long time from the VII century to the XIV century AD. One of the classical or Hindu influences is the Bumiayu temple in the village of Bumiayu in the Tanah Abang sub-district. The Bumiayu temple complex is a joint temple complex between Buddhists and Hindus. Based on these findings, it is interesting to study how temples for Hindu worship can coexist with Buddhist temples. The purpose is to describe the Hindu place of worship during the Srivijayan era at Bumiayu Temple. This research method uses a historical methodology. The conclusion that can be drawn is that the Bumiayu temple is a place of relics and worship of gods as well as a place of worship for the ancestors of Hindus during the Sriwijaya B. Attewell Isaac FarmerThis book discusses basic principles as well as the practical applications of geological survey and analysis. Topics covered include the mechanical and physical response of rocks, rock masses and soils to changes in environmental conditions, and the principles of groundwater flow. The core of the book deals with the collection of geological and technical data, its subsequent analysis, and application to design. The combination of rigorous and detailed discussion of theory and well-illustrated examples made the book an indispensable reference source and ideal course book for both geologists and civil Brief History of Indonesia Sultans, Spices, and Tsunamis, the Incredible Story of Southeast Asia's Largest NationTim HanniganHannigan, Tim. A Brief History of Indonesia Sultans, Spices, and Tsunamis, the Incredible Story of Southeast Asia's Largest Nation. TUTTLE Publishing, SoekmonoThe JavaneseCandiSoekmono, R. The Javanese Candi, Function and Meaning. E. J. Brill, 1995. -. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Kanisius, Grafindo Media PratamaNana SupriatnaSejarahSupriatna, Nana. Sejarah. PT Grafindo Media Pratama, 2006.
Seni Bangunan Masa Hindu-Budha Pada Candi Pada awalnya, Hindu-Budha memasuki Indonesia melalui hubungan perdagangan dengan para pedagang Hindia. Pada masa ini juga disebut sebagai akhir dari masa prasejarah di Indonesia karena manusia pada jaman ini sudah ditemukan tulisan dan manusia mulai mengenal peradaban. Para pedagang ini tidak semata-mata hanya menjual barang dagangan mereka, tetapi juga menyebarkan agama dan budaya-budaya mereka, khususnya pada bidang kesenian. Baik pada seni rupa, sastra, maupun seni pada bangunan yang kemudian diterapkan dalam pembuatan candi. Candi dalam istilah bahasa Indonesia diartikan sebagai bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan masa lalu pada zaman Hindu-Budha. Selain sebagai tempat ibadah, candi juga diartikan sebagai replika tempat tinggal para dewa. Dan pesan-pesan yang ada di relief candi tak lepas dari unsur religi. Jika dilihat dari bentuknya, pada umumnya candi dibangun dengan model bangunan yang bertingkat-tingkat dan dibagi menjadi 3 bagian yaitu kaki candi, badan atau tubuh candi, dan atap candi. Bentuk dari bangunan candi itu sendiri juga menggunakan konsep geometri, misalnya pada kaki candi dan badan candi menggunakan atau menerapkan bentuk segi empat persegi, sedangkan pada atap candi biasanya menggunakan dasar lingkaran, tetapi ada juga candi yang memakai bentuk dasar lingkaran. Candi juga dihiasi dengan anak tangga yang berfungsi sebagai jalan dari kaki candi ke bagian atas candi. Selain itu, di setiap dinding candi juga selalu dihiasi oleh relief-relief. Ada perbedaan bangunan candi antara Hindu dan Budha. bentuk candi yang tinggi menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Contohnya candi prambanan, candi ini dirancang menyerupai rumah Siwa, yaitu mengikuti bentuk gunung suci Mahameru, tempat para dewa bersemayam. Sedangkan pada Candi budha. Contohnya borobudur, bentuk candi melambangkan bunga teratai yang diartikan sebagai singgasana Budha. Relief adalah seni pahat atau ukiran timbul yang memiliki nilai estetika, dan nilai religi. Karena selain memperindah candi dengan berbagai bentuk ukiran-ukirannya juga menceritakan tentang kehidupan masyarakat pada saat itu. Relief pada candi tidak langsung bertuliskan cerita, tetapi dalam bentuk simbol-simbol atau biasanya dalam bentuk makhluk hidup seperti manusia, hewan atau juga benda mati. Bagian-bagian pada candi a. Kaki candi kaki candi melambangkan kehidupan dunia bawah yang masih dikuasai oleh nafsu. Bagian kaki candi biasanya berbentuk persegi. b. Badan candi di bagian tubuh candi terdapat relung yang berada di dinding di dekat pintu masuk candi. Dan berisi arca-arca yang diletakkan di dalam relung-relung tersebut. Dan tubuh candi biasanya terdiri dari bilik-bilik yang juga berisi arca-arca. c. Atap candi Atap candi melambangkan dunia atas atau tempat para dewa. Atap pada candi umumnya berbentuk lingkaran besar pada dasarnya dan semakin ke atas semakin kecil, dan di dalamnya dibei rongga yang dimaksudkan sebagai tempat bersemayam para dewa. Fungsi Candi Candi berfungsi sebagai tempat pemakaman raja, dan juga digunakan sebagai tempat pemujaan roh nenek moyang tau pemujaan kepada dewa. Ini bisa dilihat dari adanya selasar. Selasar adalah lantai yang berada pada bagian tubuh candi. Selasar ini digunakan sebagai tempat melakukan pradaksina memutari candi searah jarum jam, ini dimaksudkan dengan membaca relief searah jarum jam, dipercaya mereka sedang berdoa kepada dewa. Selasar juga digunakan sebagai tempat melakukan prasawiya memutari candi berlawanan arah jarum jam, ini dimaksudkan dengan membaca relief berlawanan dengan arah jarum jam, mereka sedang mendoakan nenek moyang mereka. Gambar di samping adalah relief dari candi Borobudur yang menggambarkan Budha sedang digoda oleh Mara yang menari-nari diiringi gendang. Relief ini mengisahkan riwayat hidup Sang Budha seperti yang terdapat dalam kitab Lalitawistara. Demikian pula halnya dengan candi-candi Hindu. Relief-reliefnya yang juga mengambil kisah yang terdapat dalam kepercayaan Hindu seperti kisah Ramayana yang digambarkan melalui relief candi Prambanan ataupun candi Panataran. Gambar di samping adalah gambar arca Budha di candi borobudur, aarca Budha memiliki beberapa karakteristik, salah satunya yaitu Arca Budha memiliki telinga yang panjang sebagai gambaran kalau Budha itu Maha Mendengar. Ini adalah gambar atap candi arupadhatu borobudur, candi ini bercorak Budha dan dibangun oleh Raja Sam Ratunga pada 824 masehi. Arupadhatu berada pada tingkat atas dari candi borobudur. Bentuk bangunan Arupadhatu ini menggambarkan mengenai tingkatan Nirwana yang berarti surga. Pada tingkat ke-7 Candi Borobudur, terdapat 32 stupa. Pada tingkat selanjutnya yaitu tingkat ke-8, terdapat 24 stupa. Tingkat ke-9 memiliki 16 stupa, dan pada tingkatan paling atas dari Candi Borobudur terdapat 1 stupa yang terbesar diantara stupa- stupa yang lainnya. CandiPrambanan atau Candi RaraJonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnusebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. bentuk candi yang tinggi menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Relief candi prambanan menceritakan tentang kisah ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.
- Dalam struktur candi yang ditemukan di Indonesia, terdapat ciri budaya Indonesia yang menjadi bentuk akulturasi dari budaya Hindu-Buddha yaitu punden berundak. Punden berundak merupakan salah satu hasil kebudayaan era Batu Besar atau Megalitikum. Benda peninggalan zaman Megalitikum ini berbentuk anak tangga, berfungsi sebagai pemujaan arwah nenek moyang dan dianggap punden berundak biasanya memiliki tiga susunan bertingkat dengan susunan batu-batuan dan setiap susunannya memiliki makna. Selain itu, punden berundak dikenal sebagai bangunan dari zaman Megalitikum yang menjadi dasar pembangunan candi. Baca juga Zaman Megalitikum Peninggalan, Sejarah, Ciri, dan Kepercayaan Asal-usul Meski dikenal sebagai peninggalan zaman Megalitikum, struktur punden berundak sebenarnya mulai berkembang sejak masa bercocok tanam. Namun, baru mencapai puncak perkembangannya pada masa Megalitikum. Oleh masyarakat prasejarah, punden berundak dianggap sebagai simbol sebuah gunung suci tempat bersemayam roh leluhur, yang diyakini akan memberikan berkah berupa kesuburan, ketenteraman, dan kesejahteraan. Dalam perkembangannya, di Indonesia, bentuk punden berundak berakulturasi dengan budaya Hindu-Buddha, bahkan hingga era Islam. Salah satu contohnya dapat dilihat pada beberapa candi peninggalan kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, misalnya Candi Borobudur, yang berundak-undak dan mengerucut ke atas. Hal ini pula yang membuat bangunan candi di Indonesia memiliki ciri khas yang unik. Tidak hanya itu, punden berundak juga diadopsi dalam bentuk bangunan masjid ketika pengaruh agama Islam masuk ke wilayah pembuatan bangunan yang mampu beradaptasi dengan pengaruh India dalam bentuk candi adalah punden berundak. Baca juga Siapakah Arsitek Candi Borobudur? Fungsi dan bentuk bangunan Pada zaman Megalitikum, punden berundak biasanya difungsikan sebagai tempat menaruh sesajen bagi masyarakat purba. Masyarakat purba meletakkan sesajen di punden berundak dengan tujuan untuk menolak bahaya, seperti gempa bumi, penyakit, serta meminta keselamatan. Selain itu, punden berundak juga berfungsi sebagai pemujaan arwah leluhur dan diyakini sebagai tempat yang diilhami atau dianggap suci. Punden berundak biasanya memiliki tiga tingkatan yang memiliki makna pada tiap tingkatannya, sebagai berikut. Tingkatan pertama melambangkan kehidupan janin saat masih berada di dalam kandungan atau rahim Tingkatan kedua melambangkan kehidupan manusia setelah lahir atau ketika berada di dunia Tingkatan ketiga atau tingkatan akhir melambangkan kehidupan manusia setelah meninggalkan dunia atau ketika mati. Baca juga Tradisi Megalitik Asal-usul, Pembagian, dan Peninggalan Persebaran punden berundak Di Indonesia, bangunan punden berundak tersebar di berbagai wilayah. Mulai dari ujung barat Indonesia, hingga ujung timur. Salah satu daerah persebaran punden berundak adalah Jawa Barat, misalnya di Kabupaten Sukabumi, tepatnya di Pangguyangan dan Gunung Padang. Selain itu di Kabupaten Garut, Cianjur, Rangkasbitung, Kuninggan, hingga Banten Selatan, juga terdapat persebaran punden berundak. Referensi Maskun, DKK. 2021. Situs Megalithikum Lampung. Klaten Penerbit Lakeisha. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Sebagai umat Hindu dalam melaksanakan persembahyangan kita menghadaf ke arah bangunan yang disebut dengan padmasana, yaitu simbol tempat melinggihnya Sang Hyang Widhi dihadapan uiriat-Nya. Bangunan Padmasana berbentuk seperti tugu, bagian bawah terdapat hiasan kura-kura yang dililit oleh 2 ekor naga, di bagian tengah dihias dengan ukir-ukiran yang milah dan seringkaii dilengkapi dengan arca-arca di setiap sudutnya. Sedangkan - di bagian atas berbentuk kursi dengan bagian sandaran tangannya dihias dengan 2 ekor naga. Dari sisi sejarah, agama Hindu dan Budha juga pernah berkembang dan menjadi agama bangsa Indonesia pada abad IV-XV. Bukti keberadaan agama Hindu dan Budha di Indonesia ditandai dengan peninggalan-peninggalan yang berupa candi, prasasti, arca batu, arca perunggu, alat-alat upacara, dan sebagainya. Dalam hal ini bangunan' candi merupakan tempat peribadatan umat Hindu dan Budha pada masa itu. Bangunan candi tersusun dari batu andesit, batu putih, atau batu bata. Di dalam tubuh candi terdapat bilik yang sempit, tempat arca dewa atau lingga-yoni ditempatkan. Bila kita perhatikan bentuk arsitektur candi dengan arca dewa atau lingga-yoni di dalam biliknya sebagai obyek pemujaan, maka akan kita temui perbedaan yang sangat menyolok dengan bentuk padmasana pada masa kini. Tentu ada mata rantai sejarah perkembangannya sejak mulai dari berbentuk candi hingga sampai ke bentuk padmasana ini? Istilah candi berasal dari bahasa Sansekerta candika grha. Candiku adalah salah satu dari nama-nama Dewi Durga dalam wujudnya sebagai Dewi Maut, sedangkan grha berarti rumah atau kuil. Jadi candika grha berarti kuil Dewi Durga. Meskipun demikian dalam kenyataannya tidak ada satu pun candi di Indonesia yang benar-benar hanya diperuntukkan bagi Dewi Durga. Bahkan istilah Candi juga digunakan untuk semua tempat bangunan peninggalan peribadatan agama Hindu maupun Budha. Perbedaannya adalah, candi-candi Hindu berisi lingga-yoni atau arca-arca dewa Hindu, sedangkan candi-candi Budha berisikan arca Sang Budha. Arca Dewa Siwa, Dewa Agastya Siwa Mahaguru, dan Dewa Ganesha. Komposisi ini dapat kita lihat pada candi induk Komplek Candi Pram-banan, di mana Arca Dewa Siwa^ terdapat pada bilik utama, Dewi Durga pada bilik sisi utara, Dewa Agastya pada sisi selatan, dan Dewa Ganesha pada sisi barat. Sebelum masuknya agama Hindu dan Budha, Bangsa Indonesia telah mengenal kepercayaan asli, yaitu pemujaan kepada roh nenek moyang. Sarana untuk pemujaan kepada roh nenek moyang adalah dengan menggunakan batu-batu besar yang disusun membentuk komposisi tertentu, sehingga jaman ini dikenal dengan tradisi megalitik atau tradisi batu besar mega besar, litluk. batu. Benda-benda peninggalan jaman megalitik antara lain adalah batu menhir, dolmen, sarkofagus, peti kubur batu, dan punden berundak. Di dalam tradisi megalitik terdapat kepercayaan bahwa roh nenek moyang bersemayam di tempat-tempat yang tinggi, seperti pegunungan, dataran tinggi, dan bukit-bukit. Hal ini menyebabkan bangunan-bangunan dari jaman megalitik, khususnya punden berundak, terletak di tempat yang tinggi. Denah halaman bangunan punden berundak tersusun ke belakang dengan kedudukan semakin ke belakang semakin tinggi. Halaman paling belakang dianggap yang paling suci karena letaknya paling dekat dengan puncak gunung, pegunungan, atau bukit. Tradisi megalitik Bangsa Indonesia pada saat itu masih berada dalam jaman prasejarah karena belum mengenal tulisan. Jaman prasejarah di Indonesia berakhir setelah masuknya pengaruh kebudayaan India pada sekitar awal abad IV masehi. Dengan masuknya pengaruh India, kebudayaan bangsa Indonesia mulai mengalami perubahan besar, yaitu mulai mengenal tulisan, timbulnya sistem pemerintahan kerajaan, serta mengenal sistem keagamaan yang baru. Sistem keagamaan baru yang berasal dari India itu adalah agama Hindu dan Budha. Awal masuknya jaman sejarah di Indonesia ditandai dengan ditemukannya 7 buah Prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur, yang berasal dari abad IV Masehi, yang menyebutkan adanya Kerajaan Kutai. Di samping itu di Jawa Barat ditemukan beberapa buah prasasti, antara lain Prasasti Kebon Kopi, Pasir Awi, Jambu, Ganten, Tugu, Lebak, dan Muara Cianten yang berasal dari abad IV - V Masehi yang menyebutkan adanya Kerajaan Tarumanegara. Dari kedua kerajaan tersebut belum ditemukan peninggalan yang baerupa bangunan candi Peninggalan bangunan candi baru muncul pada masa Kerajaan Mataram Hindu yang berpusat di Jawa Tengah dan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatera, sekitar abad VII-VIII Masehi. Setelah agama Hindu masuk dan berkembang di Indonesia, Bangsa Indonesia mulai mengenal pemujaan kepada dewa-dewa Hindu, seperti Brahma, Wisnu, Siwa, Durga dan sebagainya. Tradisi pemujaan kepada dewa-dewa yang berasal dari India tersebut diwujudkan dalam bentuk arca-arca dewa dari batu atau batu-bata, yaitu bangunan yang sekarang kita sebut sebagai candi. Arca-arca dewa di dalam bilik candi diwujudkan dalam posisi berdiri atau duduk di atas lapik batu berbentuk bunga teratai yang disebut padmasana. Padmasana berasal dari kata padma yang berarti bunga teratai dan asana yang berarti tempat duduk. Jadi padmasana di dalam konteks bangunan candi berarti adalah tempat duduk berbentuk bunga teratai. Berdasarkan temuan arkeologis di Indonesia, dewa utama yang paling sering diarcakan di dalam candi adalah Dewa Siwa. Sedangkan dewa-dewa lainnya, seperti Dewa Wisnu, Brahma, Durga, dan Agastya Siwa Mahaguru tidak dicandikan tersendiri, melainkan merupakan bagian dari komplek percandian yang melengkapi keberadaan Dewa Siwa. Hal ini memperkuat pendapat bahwa aliran Hindu yang masuk ke Indonesia adalah aliran Siwaistis atau Siwasidhanta. Di samping candi-candi yang berisikan arca dewa, terdapat juga candi-candi yang berisikan lingga-yoni, yang merupakan lambang penyatuan Dewa Siwa dan Dewi Parwati. lingga adalah batu berbentuk silindris menyerupai alat kelamin laki-laki, dipasangkan secara vertikal di atas yoni. Sedangkan yoni berbentuk segi empat dan bagian atasnya datar dengan sebuah cerat pada salah satu sisinya yang menyerupai alat kelamin perempuan. Dalam hal ini lingga merupakan lambang unsur laki-laki dan yoni merupakan lambang unsur perempuan, sehingga penyatuan keduanya menghasilkan kesuburan. Di samping itu lingga juga merupakan lambang dari penyatuan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Bentuk lingga ini terdiri dari 3 bagian, paling bawah berbentuk segi empat, lambang Brahma; bagian tengah berbentuk segi delapan lambang Wisnu; dan bagian atas berbentuk bulat, lambang Siwa. Candi-candi Hindu yang mula-mula berkembang di Indonesia menunjukkan perpaduan tradisi megalitik dengan pengaruh budaya India, yaitu bahwa tidak hanya roh nenek moyang, tetapi dewa-dewa juga bersemayam di tempat-tempat yang tinggi, sehingga candi-candi tersebut dibangun di dataran daerah dataran tinggi atau pegunungan. Misalnya komplek Candi Gedongsongo di kaki Gunung Ungaran dan Komplek Candi Dieng di dataran tinggi Dieng. Candi-candi ini tidak memiliki denah halaman yang jelas, dan terletak saling berpencar satu sama lain. Dalam hal ini tampak perpaduan konsep antara India dan Indonesia, yaitu bahwa bangsa Indonesia sudah menggunakan arca dewa sebagai pusat orientasi pemujaan, namun juga masih menggunakan orientasi gunung sebagai tempat tinggal roh-roh nenek moyang dan dewa-dewa tersebut. Candi-candi dengan pola tersebaran di pegunungan ini pada umumnya dibangun di daerah Jawa Tengah bagian utara, sehingga para ahli arkeologi menyebutnya Periode Jawa Tengah bagian Utara. Pada pertengahan masa Kerajaan Mataram Kuno, pengaruh India semakin menguat. Pusat orientasi pemujaan sudah tidak lagi mengarah ke gunung, tetapi pada arca-acra dewa di dalam bilik dewa dianggap sebagai pusat kosmis dan pusat orientasi pemujaan, sehingga komplek candi yang dibangun pada masa itu mempunyai denah berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang dengan pola memusat, yaitu- halaman yang dianggap paling suci terletak di tengah. Pusat orientasi pemujaan ada candi induk yang berada di halaman pusatnya, misalnya Komplek Candi Plaosan Lor, dan Komplek Candi Ngawen. Pembangunan komplek percandian juga harus didasarkan pada aturan-aturan dalam kitab Vastupurusamandala vastu situs, tempat; purusa segala hakekat/jiwa dari alam semesta; dan mandala wilayah yang telah disucikan karena digunakan sebagai tempat dari segala hakekat alam semesta. Wujud paling sempurna dari penggunaan aturan Vastupurusamandala berarti suatu wilayah yang telah disucikan karena digunakan sebagai tempat dari segala hakekat alam semesta. Wujud paling sempurna dari penggunaan aturan Vastupurusamandala terlihat pada ketepatan garis diagonal halaman serta kesejajaran penyusunan candi-candi perwara yang mengelilingi candi induknya. Di samping itu berdasarkan perhitungan arah menurut kompas, arah hadap candi juga benar-benar persis menghadap ke timur. Candi-candi dengan pola memusat pada masa Mataram Hindu ini pada umumnya dibangun di daerah Jawa Tengah bagian selatan, sehingga lazim disebut Periode Jawa Tengah bagian Selatan. Pada masa Kerajaan Mataram Hindu, tampaknya perbedaan ajaran antara agama Budha dan Hindu tidak terlalu dipermasalahkan oleh pemeluknya sendiri. Hal ini tampak pada banyaknya candi Hindu dan Budha yang terletak saling berdekatan satu sama lain di daerah Prambanan, seperti Candi Sambisari, Prambanan, Barong, dan Ijo berorientasi pada arah timur-barat, tetapi berubah menjadi membelakangi gunung. Perubahan dari denah konsentris menjadi denah tersusun ke belakang ini mulai tampak pada Candi Jago di Malang. Candi ini memiliki 3 tingkatan kaki candi. Tingkat ketiga dan bagian tubuh candi terletak pada bagian paling belakang. Hal ini menunjukkan munculnya kembali konsep-konsep pada bangunan prasejarah, yaitu punden berundak dan pemujaan roh nenek moyang. Munculnya kembali tradisi pemujaan roh nenek moyang menyebabkan praktik agama Hindu dan Budha pada waktu itu sedikit demisedikit mulai menyatu dan mulai tidak dibedakan lagi oleh para pemeluknya. Penyatuan unsur-unsur agama Hindu dan Budha ini ditandai dengan beberapa orang raja yang setelah meninggal dicandikan dibuatkan candi sebagai tempat pemujaan kepadanya, di dua tempat, yaitu sebagai Siwa Hindu dan Buddha. Raja-raja yang dicandikan baik sebagai Siwa maupun Budha adalah Ken Arok Rajasanegara, Kertanegara, Raden Wijaya Kertarajasa, Jayanegara, dan sebagainya. Sehingga dalam masa-masa selanjutnya antara agama Hindu dan Budha sudah tidak dapat dikatakan sebagai agama yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan sudah menjadi satu kesatuan yang disebut Siwa-Budha. Di samping denah bangunan candi kembali ke konsep punden berundak, arca-arca di dalam bilik candi pun mulai menyimpang dari kaidah pembuatan arca dewa di India. Bila arca di candi-candi periode Jawa Tengah bagian selatan dibuat sedemikian realistis agar tampak hidup, maka arca-arca dewa di dalam bilik candi di Jawa Timur tampak kaku menyerupai mummi atau mayat. Menurut para ahli ahli arkeologi, wajah dewa atau dewi di dalam candi tidak sama dengan wajah dewa sebagaimana yang digambarkan pada periode Jawa Tengah karena cenderung dibuat mirip dengan wajah raja atau ratu yang telah meninggal, Arca-arca di dalam bilik candi bukan lagi semata-mata sebagai arca dewa, melainkan sebagai wujud roh nenek moyang yang telah menjadi satu dengan dewa-dewa, yang diwakili oleh sosok seroang raja/ratu yang telah mangkat. Pada saat itu mulai berlaku konsep dewa raja, yaitu raja atau ratu yang meninggal dibuatkan tempat peringatan berupa bangunan candi dengan arca perwujudan raja/ratu sebagai dewa/ dewi di dalamnya. Seperti Mahendradata Gunapriyadharmapatni yang diwujudkan sebagai Dewi Durga di Gianyar, Bali; Airlangga yang diwujudkan sebagai Dewa Wisnu yang naik Garuda di Candi Belahan, Mojokerto; Ken Dedes permaisuri Ken Arok, pendiri Kerajaan Singosari yang diwujudkan sebagai Dewi Prajna-paramitha, Kertanegara yang diwujudkan sebagai Aksobhya, dan sebagainya. Dengan demikian kepercayaan kepada dewa-dewi dalam agama Hindu dan Budha yang berkembang menjelang abad XV bersinkretis dengan konsep pemujaan roh leluhur dari tradisi megalitik, sehingga memunculkan aliran baru yang merupakan perpaduan antara agama asli Bangsa Indonesia yang berorientasi pada pemujaan roh leluhur dengan agama Hindu-Budha yang berorientasi pada pemujaan dewa-dewa kosmis. Pembuatan arca perwujudan raja/ratu sebagai dewa/dewi di dalam bilik candi pada masa Jawa Timur bukanlah adat kebiasaan agama Hindu dan Budha untuk memudahkan pengertian, selanjutnya disebut agama Hindu saja yang berasal dari India. Sebaliknya upacara-upacara pemujaan kepada raja/ratu yang telah meninggal itu merupakan adat kebiasaan Indonesia yang diberi bentuk kehinduan sebagai usaha meningkatkan pengertiannya agar sesuai dengan keadaan yang telah berubah karena pengaruh Hindu. Maka dasar upacaranya tetap bersifat Indonesia, sedangkan dari segi agama Hindu tidak bertentangan konsep ajarannya yang bersifa-t Hinduistis dan Candi Sewu, Kalasan, Sari, Sofogedug, Sojiwan, dan Plaosan yang bersifat Budhistis. Bahkan candi Hindu dan Budha yang terbesar, yaitu Komplek Candi Prambanan yang bersifat Hindu dan Komplek Candi Sewu yang bersifat Budha didirikan berdampingan. Masih pada masa Kerajaan Mataram Hindu, pada masa yang lebih kemudian antara kedua agama tersebut terjadi pemaduan unsur-unsur kebiasaan di kalangan penganutnya. Hal ini mulai tampak pada Komplek Candi Plaosan Lor, di mana arca-arca di dalam candi induknya bersifat Budha, tetapi atribut-atribut yang dikenakannya sudah mulai bercampur dengan unsur-unsur Hindu. Demikian pula dengan candi perwaranya. Di Kompleks Candi Plaosan Lor, sebagian besar candi perwara-nya mempunyai atap berbentuk stupa, tetapi, terdapat pula candi-candi perwara yang mempunyai atap berbentuk ratna yang merupakan ciri khas candi yang bersifat Hindu. Pada abad X pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Hindu dipindahkan ke Jawa Timur dan berakhir pada masa pemerintahan Mpu Sindok. Setelah Kerajaan Mataram hindu runtuh dan kemudian secara berturut-turut digantikan oleh kerajaan-kerajaan lain, seperti Kediri, Daha, Singosari, dan Majapahit. Di Jawa Timur candi-candi mulai dibangun dengan ketentuan yang menyimpang dari konsep Vastupurusamandala. Bila candi-candi di Jawa Tengah bagian Selatan semula berdenah konsentris dengan halaman paling dalam adalah yang paling suci, maka pada periode Jawa Timur, denah candi berubah menjadi tersusun ke belakang kembali, yang mana halaman paling belakang merupakan bagian yang paling suci. Arah hadap candi juga tidak lagi seiring dengan perkembangan jaman, sejak, melemahnya Kerajaaak Majapahit menjelang akhir abad XVI agama Islam mulai menggantikan posisi agama Hindu di Jawa. Pemeluk Hindu semakin terpinggirkan dari tanah Jawa dan hanya bertahan di Bali. Sejak itu candi-candi di Jawa menjadi rusak dan terbengkalai karena boleh dikatakan sudah tidak ada lagi penganutnya. Suatu hal yang barangkali menjadi aneh bagi kita adalah, mengapa di Bali tradisi menggunakan bangunan candi sebagai tempat pemujaan menjadi hilang, walaupun di Bali sendiri memiliki banyak peninggalan bangunan candi, seperti Candi Gunung Kawi, Candi Tebing Tegallingga, Candi Stupa Pegulingan, dan sebagainya. Di Bali mungkin kita sudah tidak menemukan lagi bangunan candi yang masih digunakan sebagai tempat pemujaan. Sebagai gantinya kita bersembahyang di dalam pura yang di dalamnya terdapat berbagai macam bangunan seperti padmasana, meru, prasada, atau pelinggih-pelinggih lainnya. Namun kita masih dapat melihat keterkaitan antara bangunan pura dengan komplek percandian pada Periode Jawa Timur, yaitu dari denah halamannya yang tersusun ke belakang. Di dalam halaman utama mandala, kita memang sudah tidak menemukan bangunan candi lagi, namun di sana akan menjumpai bangunan berbentuk meru atau prasada. Meru adalah bangunan yang terbuat dari kayu dengan atap dari ijuk berbentuk semacam payung segi empat yang bertingkat-tingkat. Sedangkan prasada adalah bangunan pejal yang terbuat dari batubata, namun beratap ijuk atau kayu. Atapnya tidak bertingkat-tingkat seperti halnya meru. Keduanya memiliki persamaan dengan candi, yaitu terdapat rongga bilik di dalamnya. Namun di dalam bilik tersebut tidak terdapat arca dewa atau lingga yoni. Sebagai gantinya, di dalamnya terdapat benda-benda suci yang merupakan wakil dari dewa atau leluhur yang disthanakan seperti pratima, peripih, atau pedagingan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bukan tradisi pemujaan kepada dewa atau roh leluhurnya yang berakhir, tetapi tradisi membuat bangunan candinya-lah yang berakhir. Tradisi membuat bangunan candi digantingan dengan membuat bangunan berbilik dari kayu yang disebut dengan meru atau dari batu bata yang disebut dengan prasada. Konsep dasar pemujaan kepada dewa atau roh leluhur itu sendiri tetap tidak berubah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tradisi pembuatan bangunan candi pada masa lampau di Bali telah berubah menjadi meru dan prasada. Peralihan dari bentuk candi ke bentuk meru sebenarnya sudah mulai tampak pada Komplek Candi Panataran di Blitar, yang dibangun sekitar abad XIV, yaitu pada candi induknya yang hanya terdiri dari bagian kaki, tanpa tubuh dan atap. Bagian tubuh dan atapnya sudah tidak ada, namun juga tidak ditemukan sisa-sisa dinding bangunannya. Di samping itu di bagian lantai kaki candi tersebut terdapat beberapa umpak yang menunjukkan bahwa dahulu terdapat tiang atau atap yang terbuat dari kayu. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa bentuk-bentuk candi dari masa Hindu-Budha di Bali sudah berubah menjadi meru dan prasada. Yang menjadi pertanyaan kembali adalah, bagaimana dengan sejarah timbulnya padmasana seperti yang kita kenal sekarang? Sebagaimana telah dijelaskan di atas, padmasana semula adalah sebagai tempat duduk atau berdirinya arca dewa di dalam bilik bangunan candi di Jawa. Semenjak kedatangan Dang Hyang Nirartha di Pulau Bali pada akhir abad XVI, penggunaan arca-arca dewa mulai dihilangkan. Hal ini dikarenakan sejak kedatangan Dang Hyang Nirartha, arca-arca perwujudan dewa diganti dengan wujud banten, misalnya ajuman, daksina, canangsari, tumpeng, dan lain-lain. Mungkin pula tradisi ini timbul sebagai akibat dari kedatangan agama lain, khususnya di Jawa, yang secara ekstrim menentang dan berusaha menghancurkan segala bentuk pemujaan yang menggunakan media arca. Agar tidak kehilangan makna dalam melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi, maka media arca ini diganti dalam bentuk banten yang sifatnya sementara. Dalam perkembangannya, untuk meletakkan banten ini, dibuatlah pelinggih-pelinggih, baik yang bersifat sementara maupun permanen. Pelinggih yang bersifat permanen dibuat dalam bentuk seperti tugu dengan singgasana di atasnya, yang sekarang kita sebut dengan padmasana ini. Tentunya akan timbul pertanyaan bahwa mengapa bentuk padmasana yang kita kenal sekarang ini berbeda jauh dengan bentuk padmasana pada tempat duduk/berdiri arca di dalam bilik candi? Di dalam agama Hindu, Sang Hyang Widhi merupakan penguasa atas Tribhuwana, yaitu alam bhur, bwah, dan swah. Oleh karena itu untuk menggambarkan Kemahakuasaan Beliau diwujudkanlah bentuk bangunan seperti tugu yang menggambarkan ketiga dunia ini. Lalu mengapa disebut dengan padmasana? Mungkin istilah ini berasal dari pesimpenan Pancadatu atau pedagingan yang ditanam, baik di dasar, di tengah, maupun di atas bangunan tersebut. Di Bali banten pedagingan diletakkan di atas alas banten yang disebut lamak, yang terbuat dari daun enau. Lamak itu sendiri merupakan perwujudan dari bunga teratai atau padma. Pedagingan di puncak bangunan disebut dengan padma mas. Disebut dengan padma mas ini tidak tampak dari luar karena ditanam di dalam singgasana padmasana yang berbentuk persegi empat. Karena padma mas ini terletak di dalam singgasana yang merupakan tempat melinggihnya Sang Hyang Widhi Wasa, maka keseluruhan bangunan ini disebut dengan padmasana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tradisi pembuatan bangunan candi tetap berlanjut dalam bentuk pembuatan meru dan prasada. Sedangkan padmasana muncul sebagai perkembangan dari bentuk pelinggih yang bersifat permanen, yaitu untuk memuja Sang Hyang Widhi yang kehadiran-Nya diwujudkan dalam bentuk banten. Source Budiana Setiawan l Warta Hindu Dharma NO. 437 Juli 2003
Teman cerita, Apakah kalian sudah pernah berkunjung ke Candi Prambanan atau Candi Borobudur? Pasti pernah, dong. Kedua candi itu merupakan objek wisata di Indonesia yang paling banyak dikunjungi turis lokal maupun mancanegara. Namun, sebelum menjadi objek wisata seperti sekarang, kira-kira apa fungsi bangunan candi di masa lalu, ya?Terkait bangunan candi, ada beberapa pendapat keliru yang beredar di masyarakat. Ada yang menganggap bahwa masyarakat membangun candi dalam rangka pemujaan berhala dan sebaiknya dihancurkan saja. Pendapat lainnya, candi didirikan oleh orang kaya dan kegunaanya hanya untuk kalangan mereka saja. Kemudian yang paling kontroversial adalah adanya pendapat bahwa Raja Sulaiman-lah yang membangun Candi Borobudur. Dari ketiga pendapat tersebut, kita tahu bahwa ada kekeliruan informasi yang beredar di masyarakat. Kali ini skalacerita akan menceritakan sedikit mengenai makna bangunan candi untuk teman Secara Umum Bangunan CandiTeman cerita, banyak orang yang menganggap candi adalah sebuah bangunan dari kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia. Tentu itu tidak salah. Namun, candi-candi yang sekarang kita lihat memerlukan proses yang panjang sampai menjadi bangunan utuh kembali. Proses tersebut berupa penelitian, penggalian arkeologis, rekonstruksi, dan pemugaran. Beberapa bangunan candi memiliki catatan pembangunan dan fungsinya yang tertuang dalam sebuah prasasti. Bahkan, ada prasasti yang menyebutkan tujuan dan waktu pendirian saja prasasti Kelurak 704 Śaka yang isinya memperingati pendirian bangunan suci dan arca Manjusri, serta menyerukan penghormatan kepada Triratna oleh pendeta Kumaraghosa dari juga Prasasti Mañjusrigrha 714 Śaka yang menyebutkan adanya penyempurnaan prasada bernama wajrāsana Mañjusrigrha yang berarti rumah bagi Mañjusri sebagai salah satu Bodhisattva dalam ajaran Buddha Mahayana. Keberadaannya terkait dengan percandian Sewu dan Lumbung di Jawa Tengah. Namun, istilah candi sebenarnya memiliki makna mendalam dengan fungsi utama yang khas dalam proses pembangunan dan kegunaannyaBangunan Candi sebagai MakamSetelah banyaknya laporan mengenai tinggalan berupa bangunan terbuat dari batu yang hancur berserakan di tanah, usaha penelitian dan penggalian di situs Hindu Buddha banyak dilakukan. Serangkaian penyelidikan di beberapa situs Hindu-Buddha menemukan adanya tinggalan abu bekas sisa oleh Groneman di percandian Ijo dan Yjerman pada peripih gugusan candi Prambanan memberikan keterangan adanya tinggalan abu sisa pembakaran dan abu di dalam peripih yang terletak di dalam ruang candi. Berdasarkan penyelidikan, adanya abu di dalam bangunan memberikan dugaan bahwa itu adalah abu sarjana Belanda juga tetap mencari bukti-bukti lain dengan menilik dari beberapa istilah yang terdapat di dalam naskah seperti Pararaton dan Nagarakrtagama. Dalam kedua naskah tersebut menyebutkan istilah dharma’, sudharmma’, dan dhinarmanya’ yang berkaitan dengan raja dan pendharmaan bagi dan Groeneveld kemudian mengaitkan istilah tersebut dengan adanya sumber arca yang ditemukan di sekitar candi-candi Jawa Timur serta tradisi mendirikan arca untuk mengabadikan seorang raja sesuai dengan dewa yang dipuja dengan raut dan rupa sang adanya arca yang membawa identitas kedewaaan, Krom berpendapat bahwa ada dua fungsi dalam pembangunan candi. Pertama sebagai kuil pemujaan dan bangunan pemakaman bagi tokoh raja yang kemudian didharmakan dalam bentuk arca perwujudan sesuai dewa sebagai Bangunan SuciProf. R. Soekmono dalam disertasinya tahun 1974 yang berjudul, “Candi Fungsi dan Pengertiannya” merupakan arkeolog Indonesia pertama yang mengemukakan candi sebagai bangunan suci. Beliau memiliki banyak kesangsian mengenai bukti-bukti candi sebagai makam dan berpendapat bahwa candi merupakan bangunan suci yang berfungsi sebagai tempat di sekitar bangunan candi tidak dapat membuktikan candi sebagai makam. Sementara itu, candi sebagai bangunan suci didukung oleh adanya beberapa prasasti yang menyebutkan pembangunan kuil-kuil pemujaan bagi dewa-dewi 141 Prasasti Kalasan sumber Museum NasionalPrasasti Kalasan yang berangka tahun 700 Śaka menyebutkan Tarabhavanam sebagai kuil pemujaan bagi Dewi Tara beserta arca untuk ditahtakan dalam kuil tersebut. Prasasti ini juga menyebutkan adanya pembangunan tempat tinggal bagi para Sangha berupa desa Kalasa dari Sewu sebagai rumah bagi Bodhisattva Mañjusri dokumentasi pribadiDua Prasasti lainnya yakni Prasasti Mañjusrigrha yang merujuk pada Candi Sewu ditujukan bagi Bodhisattva Mañjusri dan Prasasti Śivagrha yang merujuk gugusan candi Prambanan sebagai rumah bagi Dewa Śiva. Selain itu, keberadaan arca pada relung-relung candi yang memancarkan sifat keagamaan Hindu maupun Buddha juga memberikan informasi bahwa keberadaan candi sebagai bangunan suci yang berfungsi untuk kuil juga Sejarah Candi Prambanan yang Pernah Diruntuhkan WaktuPara Pembangun CandiPendirian bangunan pastinya memiliki aturannya sendiri. Begitu pula dengan pembangunan candi. Pembangunannya mengikuti kaidah dan aturan pembangunan kuil India yang bersumber dari teks Vasusastra, salah satunya kitab Manasara-Silpasastra. Menilik candi sebagai bangunan suci, maka tempat berdirinya candi haruslah sebagai tempat yang suci dan juga pada lahan di berbagai kitab Vasusastra, tanah yang cocok sebagai tempat berdirinya suatu kuil adalah tanah yang terisi dengan air selama satu malam masih menyisakan setengah airnya di keesokan hari. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa tanah tersebut tidak terlalu gembur namun tidak juga terlalu keras. Selain itu, lahan harus dekat dengan sumber air sebagai media pembasuhan dan pembersihan diri ketika akan melangsungkan upacara pembangunan candi terdapat beberapa ahli yang bertugas menentukan tempat dan letak candi, membuat perencanaan, hingga mendirikan candi. Ahli pembangunan candi tersebut, yaituSthapaka sebagai arsitek pendeta yang harus berasal dari golongan kaum Brahmanan. Mereka bertugas menentukan letak candi pada suatu halaman/lahan yang telah dianggap sebagai arsitek perencana yang bertugas merancang bentuk dan bangunan serta memegang peranan utama dalam adalah pelaksana teknis dalam pengerjaan pendirian bangunan,TakŚaka sebagai ahli dalam urusan adalah ahli urusan seniTakŚaka nantinya akan bekerja sama dengan Vardhakin dalam bagian seni untuk bangunan juga Beginilah Candi Dibangun dan Batu Candi Saling Direkatkan!Pemaknaan Bangunan Candi pada Masa KiniCandi pada masa kini memang tidak lagi memiliki fungsi yang sama seperti di masa lalu. Meskipun masih ada candi yang berfungsi sebagai tempat menjalankan ritual keagamaan pada hari-hari besar keagamaan. Akan tetapi, pemaknaan candi sebagai bangunan istimewa karya leluhur dari masa lalu sudah seharusnya memberikan kesadaran akan nilai sejarah dan nilai religius yang masih melekat pada bangunan teman cerita sedang berkunjung ke candi, selain asyik mengambil gambar jangan lupa juga untuk menikmati karya leluhur yang tiada duanya itu, ya. Ada banyak yang bisa kita pelajari seperti nilai etika, moral, dan aspek religius ajaran Hindu dan Buddha yang terbalut dalam kemegahan dan keindahan bangunan juga Lima Rekomendasi Situs Arkeologi di Indonesia yang Wajib Dikunjungi Versi Skala Cerita!ReferensiAcharya, Prasanna Kumar. 1993. Indian Architecture according to Mānasāra-Silpaśāstra. Volume I, IV. Oxford University PressBoechari. 1974. Candi dan Lingkungannya. Jakarta Dimuat dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi 1977 di 2012. Melacak Sejarah Kuna Indonesia Lewat Data Prasasti. Jakarta Kepustakaan Populer Hariani. 1995. Seni Bangunan Sakral Masa Hindu-Buddha di Indonesia Abad VIII-XV Masehi Analisis Arsitektur dan Makna Simbolik. Pidato pada upacara pengukuhan Guru Besar Madya Tetap pada FSUI. Depok, 9 Desember R. 1974. Candi Fungsi dan Pengertiannya. Jakarta Fakultas Sastra Universitas Indonesia-Disertasi.
seni bangunan indonesia yang menjadi dasar dalam pembuatan candi adalah